TINGGALAN MEGALITIK DI KECAMATAN WOHA NTB

 Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima. Kabupaten Bima berada pada posisi 117º 40 ‘’- 119º 10’’ BT dan 70º 30’’ LS. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di Dusun Padende Kecamatan Donggo, menunjukkan bahwa daerah ini telah dihuni sejak lama. Di Kabupaten lainnya yang bersebelahan langsung dengan Bima, yaitu di Kabupaten Dompu juga terdapat beberapa situs Megalitik seperti di So Langgodu dan di Nangasia, Hu’u. Kecamatan Woha termasuk dalam wilayah Kabupaten Bima dan merupakan Kota Kabupaten Bima.

Peta Kecamatan Woha

Kecamatan Woha dan sekitarnya merupakan situs prasejarah yang sangat penting dan banyak meninggalkan sisa-sisa kehidupan masa lampau. Hal ini dibuktikan dari sisa-sisa aktivitas kehidupan pemukiman, pemujaan dan penguburan yang menjadi satu rangkaian kehidupan pada masa megalitik. Tinggalan budaya di beberapa Kecamatan Woha dan sekitarnya memberikan petunjuk bahwa nenek moyang pada saat itu telah mengenal teknologi pengerjaan batu dengan kemampuan pemahatan yang halus dan menampilkan benda-benda megalit baru yang belum pernah ditemukan di daerah lain di Indonesia.
Secara umum tinggalan megalitik di wilayah kecamatan Woha berada di atas bukit atau gunung seperti misalnya Wadu Barasila dan Wadu Ntanda Rahi 1 dan 2. Wadu Barasila merupakan batu monolit berbentuk bulat lonjong menyerupai kursi yang terletak di lereng bukit Doro Karaci, Dusun Katepu, Desa Tenga.  Wadu Barasila menurut bahasa lokal berarti batu bersila karena bagian bawah batu tersebut terlihat seperti kaki yang sedang bersila.  Sedangkan Wadu Ntanda Rahi 1 terletak puncak Bukit Doro Mangge Colu. Dalam bahasa lokal, Wadu Ntanda Rahi berarti batu menunggu suami.  Temuannya adalah 10 altar batu berbentuk persegi dan segitiga yang tidak beraturan. Menurut masyarakat, awalnya batu tersebut berdiri tegak atau menhir dengan bahan slabstone (papan batu) namun sekarang rebah tak beraturan. Masyarakat percaya bahwa batu tersebut merupakan istri dan anak-anaknya yang menunggu sang suami yang pergi berlayar.
Wadu Ntanda Rahi 2 terletak lereng Bukit Kambeu, Dusun Guna Waktu, Desa Risa.  Berdasarkan penuturan masyarakat setempat konon ada seorang istri yang ditinggal suaminya pergi berlayar ke arah utara meninggalkan Kampung Guna Waktu.  Sang istri yang merindukan suaminya yang tidak kunjung pulang lantas pergi ke bukit untuk menunggu sang suami. Lama kelamaan istri tersebut berubah menjadi batu berbentuk kursi. Batu tersebut disakralkan oleh masyarakat sampai saat ini. Pada waktu-waktu tertentu masyarakat mendatangi batu ini untuk meminta berkah, penyembuhan, permohonan keturunan, dan permohonan hujan dengan sarana sesaji berupa sirih pinang, rokok yang dibungkus daun lontar, ayam bakar, nasi kuning, dan lain-lain.


Wadu Barasila



Wadu Ntanda Rahi 1


Wadu Ntanda Rahi 2



Munculnya tradisi megalitik di di NTB khususnya Kecamatan Woha merupakan sebuah bentuk kepercayaan terhadap arwah leluhur. Masyarakat prasejarah meyakini bahwa roh arwah nenek moyang dan leluhur yang sudah meninggal mendiami tempat-tempat yang tinggi dan masih berhubungan dengan masyarakat yang masih hidup. Mereka percaya bahwa roh-roh tersebut selalu mengawasi dan menjaga mereka yang masih hidup dari tempat-tempat tinggi tersebut. Berangkat dari pemahaman itu, maka arwah leluhur diabadikan dengan pendirian bangunan megalitik dan batu alam yang dianggap mempunyai kekuatan magis sehingga menjadi media pemujaan untuk memohon keselamatan. Berdasarkan fungsi sakral ini, ditemukan beberapa beberapa variabel yang dapat merekontruksi situs tersebut sebagai situs megalitik.

  1. Tahta batu atau kursi batu yang disebut Wadu Ndata Rahi dan Bara Sila di Desa Tenga dan Desa Risa, Kecamatan Woha, disakralkan sebagai media pemujaan
  2. Sumur Kuna (Temba Kuna) berbentuk persegi maupun silinder, terdapat di:
-       Desa Keli, Kecamatan Woha yang disebut Temba Ndori
-       Desa Talabiu , Kecamatan Woha yang disebut Temba Sarise
-       Desa Talabiu, Kecamatan Woha yang disebut Temba Nonu
-       Desa Raba Kode, Kecamatan Woha yang disebut Temba Lasambi
-       Desa Dadi Bou, Kecamatan Woha yang disebut Temba Ngantu

Kelima sumur di atas dipercayai sebagai tempat pembersihan diri, tempat memohon kesuburan, mohon keturunan, tempat mohon berkah dan rejeki serta juga sebagai tempat memohon hujan ketika musim kemarau panjang. Selain fungsi sakral, ada pula sumur yang berfungsi profan misalnya Temba Ndori yang dipergunakan pula oleh masyarakat umum untuk mengairi sawah dan ladang.

  1. Gunung/Bukit (Doro Tiro dan Doro Nisa)
Doro Tiro (Bukit Tiro) terletak di Desa Naru, Kecamatan Woha dan Doro Nisa yang terletak di desa Pena Pali, Kecamatan Woha sangat disakralkan oleh masyarakat karena dipercayai mempunyai kekuatan magis.

  1. Batu Alam (Wadu Waije)
Terbentuk dari batu monolit yang terletak di kaki bukit yang disebut Wadu Waije. Lokasinya Dusun Pena Pali, Kecamatan Woha. Kepercayaan masyarakat kalau ada suara seperti pancaran jaring ikan yang ada di tambak semuanya kaget naik lompat-lompat. Bertanda hasil panen tamba disekitarnya akan berkurang. Disamping itu terdapat Batu alam (wadu Jara) di Desa Naru, Kecamatan Woha adalah batu alam yang berbentuk menyerupai seekor kuda, dipercayai oleh masyarakat pernah terjadi perselisihan antara Labasari dengan Wadu jara. Wadu Jara sebagai kendaraannya. Perselisihan itu di menangkan oleh kelompok Labasari dalam perebutan kekuasaan wilayah. Batu tersebut sampai sekarang disakralkan oleh masyarakat sekitarnya dan sering terjadi penampakan kuda yang keluar dari batu alam tersebut.

  1. Wadu Nocu dan Nekara Batu
Temuan Wadu Nocu berbentuk lumpang batu sangat disakralkan oleh penduduk sekitarnya terletak di Bukit renda, Dusun Renda, Kecamatan Belo. Selain itu, ditemukan pula sebuah nekara batu yang kondisinya relatif utuh, dengan bentuk seperti dandang terbalik. Nekara batu ini termasuk tipe Heger I dapat dibagi 3 bagian:

    1. Bagian atas yang terdiri dari bidang pukul dan bagian bahu.
    2. Bagian pinggang
    3. Bagian kaki
Diantara bagian bahu dan pinggang terdapat 4 buah kupingan, 2 buah dalam kondisi aus. Sedangkan bagian bidang pukul terdapat lubang berjumlah 70 buah berjajar seperti permainan dakon, rata-rata ukuran diameter lubang 12 cm, dalam lubang 5 cm. Lubang tersebut dapat diduga sebagai tempat menaruh sarana upacara atau sebagai tempat permainan dakon.
6.      Miniatur Rumah (Wadu Ruka)
Merupakan temuan lepas yang terletak di Desa Maria, Kecamatan Woha. Awalnya temuan ini berlokasi di desa Karombo, Kecamatan Wawo Utara karena pemekaran wilayah desa Karombo menjadi Kecamatan Langodu temuan itu di pindahkan ke balai desa. Temuan tersebut disakralkan oleh masyarakat setempat hingga saat ini.

Doro Tiro

Temba Nonu

 Wadu Nocu dan Nekara Batu

   Selain tinggalan megalitik yang difungsikan sebagai media pemujaan, terdapat pula sisa-sisa budaya tinggalan trasidi megalitik sebagai tempat penguburan dan tempat pemukiman antara lain:

1. Doro Karamaria (Gunung Karamat)

Doro Karamaria ditandai dengan dua buah batu tegak berbentuk persegi panjang tidak beraturan. Temuan tersebut terletak di kaki bukit, desa Risa, Kecamatan Woha. Tempat ini sangat disakralkan merupakan kuburan pertama di desa ini tidak diketahui siapa yang dikubur di makam tua ini. Menurut informasi, di tempat ini sering muncul penampakan orang tua berjubah seperti kiai dan sering juga tercium bau wangi. Tempat ini dipercaya untuk memohon berkah, keturunan, dan jodoh.

2. Kubur Keramat (Makam Karamat)

Terletak didaerah dataran desa Dadi Bou, Kecamatan Woha. Temuan tersebut ditandai dengan susunan batu temugelang berbentuk persegiempat panjang, bagian tengah terdapat dua buah batu tegak dengan orientasi utara-selatan. Kuburan ini disakralkan dipercayai oleh masyarakat di sekitarnya untuk memohon berkah.

3. Wadu Sigi

Wadu Sigi terletak di desa Kombo, Kecamatan Wawo. Temuan ini terbuat dari batu alam (monolit) sebagian tertanam, bagian tengah diberi lubang berbentuk silinder. Sedangkan bagian atas telah pecah. Kondisi lubang kosong telah teraduk. Sedangkan bagian tutup kondisi relatif utuh berbentuk bulat mengerucut ke bagian atas dan membentuk atap rumah limasan. Temuan ini diduga sebagai wadah kubur sebagian besar tertanam dan bentuk lubang silinder.

4. Wadu Nocu (Gentong Air)

Wadu Nocu terletak di daerah perbukitan yaitu Desa Maria, Kecamatan Wawo. Terdapat dua buah Wadu Nocu yang terbuat dari batu monolit berbahan andesit dengan bentuk silinder tinggi bagian atas mengecil kebagian tepian. Bagian tengah diberi lubang membesar ke bagian sisi tengah sehingga bentuknya menyerupai gentong tanpa diberi tutup. Gentong tersebut berisi air yang tidak pernah kering. Selain itu terdapat pula batu datar berbentuk silinder sebagai sarana persembahan. Berdasarkan tinggalan tersebut dapat diduga lokasi ini dulu pernah dipakai sebagai tempat hunian dan sekaligus sebagai pemujaan.
5.      Wadu Tune Laraji (Batu Kendi Laraji)
Lokasi ini berada di Bukit Ndaja (Doro Ndaja) dengan ketinggian 402 meter termasuk Desa Tera, Kecamatan Belo. Di situs ini terdapat 3 buah batu berlubang masyarakat sekitarnya menyebut Wadu Tune Laraji (Batu Kendi Laraji). Dilihat dari bentuk ketiga Wadu  Tune Laraji, satu buah diduga sebagai tempat air dengan bentuk silinder yang mengerucut ke bagian atas. Bagian lubang berbentuk silinder membesar ke bagian sisi tengah sehingga menyerupai gentong air, dalam kondisi berisi air dan tidak pernah kering. Sedangkan dua buah Wadu Tune Laraji berukuran rendah sebagian tertanam dipahatkan pada batu alam melebar ke sisi utara. Bagian tengah diberi lubang berbentuk silinder dengan kondisi kering tidak ada airnya. Ketiga Wadu Tune Laraji di atas mempergunakan tutup berbentuk bulat mengerucut ke bagian atas membentuk atap rumah limasan. Menurut informasi masyaraka,t pada kedua lubang Wadu Tune Laraji pernah ditemukan emas dan gelang warna-warni. Dapat diduga bahwa situs ini adalah situs pemukiman, pemujaan dan sekalian situs penguburan. Hal ini dibuktikan dari kontek temuannya yang berupa ada gentong air, wadah kubur, dan batu monolit yang diberi lubang yang diduga sebagai sarana tempat menaruh sarana upacara dan didukung oleh lokasi dan mata air.



Wadu Tune Laraji

   Seperti yang telah disebutkan di atas, bukti-bukti tersebut secara langsung telah memberikan jawaban tentang peranan, bentuk dan fungsi dari batu-batu besar, gunung dan bukit yang masih berfungsi sakral. Tinggalan-tinggalan tersebut tentunya memiliki perana penting yang dalam kehidupan keagamaan masyarakat pendukungnya. Peranan yang penting ini dapat dilihat dalam tingkah laku penduduk setempat yang memberikan perhatian terhadap bentuk-bentuk megalitik yang dianggap sakral antara lain dengan melakukan pemeliharaan terhadap bangunan megalitik yang sudah dipercayai dan diwarisinya turun temurun. Perlakuan kepercayaan penghormatan pada leluhur dengan memberikan beragam bentuk tinggalan budaya megalitik, baik bentuk media pemujaan maupun sebagai perlakuan penguburan dengan memberikan wadah kubur membuktikan adanya konsep kepercayaan yang dimiliki persamaan kehidupan di dunia nyata dengan di alam arwah, dengan dilakukannya penghormatan pada orang yang meninggal. Dipercayai pula roh orang meninggal dapat menentukan segala kehidupan dialam nyata, sehingga dilakukan perlakuan yang sebaik-baiknya. Khususnya bagi orang-orang terkemuka yang status sosialnya lebih tinggi akan dapat melindungi orang yang ditinggalkan dialam nyata.
             


Penelitian Situs Gua Gede, Nusa Penida, Bali

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia prasejarah memanfaatkan gua alam serta ceruk sebagai tempat tinggal sementara, antara lain untuk melindungi diri dari serangan binatang maupun pengaruh iklim seperti hujan, angin, dan panas. Pemilihan gua sebagai tempat tinggal tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain dekat dengan sumber daya alam yang dapat menunjang kelangsungan hidup, seperti ketersediaan sumber air, sumber makanan (flora dan fauna), dan ketersediaan bahan baku untuk pembuatan alat.
Manusia prasejarah yang tinggal di gua mencari sumber makanan di sekitar lingkungan gua tersebut. Teknik pencarian pangan pada masa berburu dan meramu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan berburu (hunting), mengumpulkan (collecting), memungut (foraging), dan meramu (gathering).
Bukti-bukti yang menunjukkan bekas penghunian gua atau ceruk oleh manusia prasejarah yang ditemukan di Indonesia, antara lain terdapat di Leang Burung (Sulawesi Selatan), Liang Bua (Flores), Song Keplek (Jawa Timur), dan Gua Gede (Bali). Situs Gua gede merupakan salah satu situs prasejarah yang terletak di Pulau Nusa Penida, Bali. Situs Gua Gede termasuk ke dalam kawasan hunian gua-gua dan ceruk di kawasan Asia Tenggara. Secara administratif, Situs Gua Gede termasuk ke dalam wilayah Dusun Ambengan, Desa Pejukutan yang terletak di sebelah tenggara Pulau Nusa Penida.
Nusa Penida merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Bali. Secara administratif, Kecamatan Nusa Penida merupakan bagian dari Kabupaten Klungkung. Secara geomorfologis, Pulau Nusa Penida terdiri dari daerah perbukitan yang terbentuk dari batuan karst sehingga memiliki lapisan humus yang tipis, antara 10-20 cm. Sungai-sungai yang berada di Pulau Nusa Penida merupakan sungai tadah hujan yang tidak selalu mengalirkan air. Oleh karena itu, Pulau Nusa Penida memiliki kondisi alam yang kering. 
  
(Peta Lokasi Situs Gua Gede)

(Situasi Mulut Gua Gede)

Gua Gede merupakan situs yang baru disurvei pada tahun 2000 oleh Balai Arkeologi Denpasar. Ekskavasi di Situs Gua Gede dilaksanakan pertama kali pada tahun 2001 dan dilakukan secara bertahap hingga pada tahun 2015 telah mencapai tahap kesebelas. Data arkeologi yang ditemukan di Situs Gua Gede, Nusa Penida di antaranya adalah alat batu masif dan serpih, beliung persegi, bola batu, alat tulang, batu pipisan, gerabah, dan ekofak berupa sisa fauna darat dan air, serta fitur berupa sisa perapian. Pada Situs Gua Gede, terdapat juga temuan menarik berupa alat yang terbuat dari tulang binatang yang disebut dengan muduk point, yaitu alat tulang yang memiliki lancipan di kedua ujungnya atau memiliki lancipan ganda. Muduk point merupakan nama dari lancipan ganda yang dibuat oleh suku Aborigin di Australia. Mereka menggunakan muduk point sebagai alat pancing, alat untuk menjahit, atau untuk melubangi cuping hidung.

(Temuan Alat Batu dan Muduk Point dari Situs Gua Gede)

Berdasarkan data arkeologi tersebut, masa penghunian di Situs Gua Gede berlangsung dari masa Paleolitik, mesolitik, hingga ke masa neolitik. Masa paleolitik ditandai dengan adanya alat batu masif, masa mesolitik ditandai dengan adanya alat batu serpih dan alat tulang. Adapun, masa neolitik ditandai dengan munculnya inovasi gerabah dan beliung persegi. Kendati demikian, hingga sejauh ini belum ditemukan rangka manusia penghuni Gua Gede Nusa Penida. Meskipun belum ditemukan rangka manusianya, penelitian arkeologi di Situs Gua Gede telah mencoba memperkirakan cara hidup manusia penghuni Situs Gua Gede, khususnya terkait strategi adaptasi.
Sebagai bentuk adaptasi, manusia prasejarah memanfaatkan sumber daya alam untuk keberlangsungan hidupnya dan membuat peralatan serta cara-cara untuk mempermudah kegiatan tersebut. Peralatan dan cara-cara tersebut merupakan bentuk dari teknologi. Manusia prasejarah membuat alat yang berbahan baku dari batu, kayu, tulang, atau kerang untuk mempermudah mencari makanan.
Sebagai tempat hunian, Situs Gua Gede memiliki peran yang sangat penting dalam mengungkap pola kehidupan manusia masa lampau dan strategi dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, terutama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan makanan dengan ditemukannya deposit limbah sisa makanan dan peralatan yang dipakainya.
Sisa makanan tersebut dapat mengungkap pola tingkah laku dan strategi pemerolehannya. Sebagai contoh, tulang binatang mamalia besar mengindikasikan suatu pola perburuan, sedangkan sisa makanan berupa cangkang kerang mengindikasikan pemerolehan makanan dengan cara memungut (foraging).
Suatu komunitas yang mengandalkan kebutuhan pangannya pada perburuan membutuhkan strategi berburu dan kerja sama tim yang baik untuk mendapatkan hasil  buruan yang diinginkan. Berdasarkan sisa fauna yang ditemukan di Situs Gua Gede, terdapat tulang babi hutan (suidae) dan monyet (macaca sp) yang berdasarkan kuantitasnya merupakan hasil buruan utama. Tulang kelelawar sebagai hasil perolehan dari perburuan juga ditemukan, tetapi proses pencariannya lebih mudah karena bisa dilakukan seorang diri. Selain tulang babi hutan dan monyet, beberapa sisa tulang hewan bertulang belakang (vertebrata) yang ditemukan di Situs Gua Gede antara lain adalah dari Kelas Reptilia, yaitu dari Ordo Ophidian (ular) dan dari Famili Varanidae (biawak), serta dari Kelas mamalia, yaitu dari Famili Viveridae (musang-musangan).

(Sisa Fauna berupa Tulang Monyet (macaca sp) dari Situs Gua Gede)

Usaha untuk menentukan masa penghunian Situs Gua Gede oleh manusia prasejarah sudah pernah dilakukan. Salah satu lapisan hasil ekskavasi di Situs Gua Gede menghasilkan pertanggalan dengan tarikh 3.800 ± 25 BP (before present). Kendati demikian, pertanggalan ini tidak bisa langsung dapat dijadikan patokan masa penghunian Gua Gede karena masih belum sepenuhnya dapat diandalkan. Alasannya, pertanggalan ini diambil dari sampel arang (charcoal) yang berada di lapisan yang sama dengan temuan beliung persegi. Penentuan pertanggalan ini tidak langsung dilakukan pada artefak atau rangka sebagai sampel utamanya.
Saat ini, penentuan pertanggalan di Situs Gua Gede dilakukan kembali dengan menggunakan sampel yang diambil dari sisa tulang babi. Penafsiran awal memperkirakan bahwa terdapat kemungkinan masa penghunian oleh manusia prasejarah di Situs Gua Gede lebih tua dari 3.800 tahun yang lalu. Namun, penelitian untuk menentukan pertanggalannya secara pasti masih dilakukan hingga saat ini.
Situs Gua Gede merupakan salah satu situs yang penting untuk dijadikan sumber rekonstruksi masa lalu manusia. Kondisi lokasi yang tertutup oleh langit-langit gua membuat data arkeologi yang terdeposit di dalamnya menjadi lebih terlindungi dari proses transformasi, baik yang berasal dari alam maupun manusia. Selain itu, lapisan budaya yang terbentuk juga lebih mudah untuk diamati karena pembentukan lapisan budaya yang cenderung lebih lambat dan tidak terganggu yang disebabkan oleh lingkungannya yang tertutup. 

PENELITIAN PRASASTI JIKEN SATRA



Penelitian prasasti merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan Balai Arkeologi Denpasar yang memiliki tiga tujuan, yaitu  penelitian murni, pengabdian masyarakat, dan pemasyarakatan arkeologi. Pada 28-30 November 2014, Balai Arkeologi Denpasar melakukan penelitian Prasasti Jikĕn Satra yang terletak di Desa Satra, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Penelitian prasasti diketuai oleh I Gusti Made Suarbhawa dengan anggota tim sebanyak empat orang, yaitu I Nyoman Sunarya, A.A. Gde Bagus, Luh Suwita Utami, dan Hedwi Prihatmoko.
  
Prasasti Jikĕn Satra saat ini disimpan di Pura Bale Agung Desa Satra yang secara astronomis terletak pada koordinat 08010’35,4” LS dan 115016’31,4” BT dengan ketinggian 1.116 mdpl. Bagi masyarakat Desa Satra, prasasti ini memiliki makna yang mendalam dan menjadi salah satu pusaka yang disakralkan. Prasasti ini selalu diikutsertakan dalam upacara-upacara keagamaan di pura umum di wilayah Desa Satra. Fungsi sakral tampak juga dari penyimpanannya di dalam pelinggih khusus. Penyimpanan di pelinggih juga untuk menjaga keamanan prasasti agar bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
Gedong tempat penyimpanan prasasti


Prasasti oleh masyarakat sangat dikeramatkan. Oleh karena itu sebelum melakukan penelitian, pada saat melakukan penelitian dan pada saat berakhirnya penelitian dilakukan upacara keagamaan sesuai dengan kebiasaan dan aturan setempat.  
Prosesi upacara sebelum pembacaan prasasti




Prasasti Jikĕn Satra terdiri dari sembilan lempeng, yaitu dua lempeng besar dengan ukuran rata-rata panjang 42 cm dan lebar 8,5 cm, serta tujuh lempeng kecil dengan ukuran rata-rata panjang 36 cm dan lebar 6,5 cm. Kedua prasasti lempeng besar bernomor I dan II, sedangkan prasasti lempeng kecil hanya tiga buah yang bernomor, yaitu nomor III, IV, dan V. Prasasti yang berukuran besar ditulisi sebanyak enam baris pada kedua sisi, kecuali lempeng I yang hanya ditulisi pada sisi b dan prasasti yang berukuran kecil ditulisi sebanyak empat baris pada kedua sisinya.
Secara umum, kondisi kesembilan prasasti kurang baik karena beberapa aksaranya tertutup oleh karat dan patina. Patina dan karat yang menutupi beberapa bagian lempeng prasasti diduga disebabkan oleh cara penyimpanannya yang ditaruh di dalam guci berisi air, guci ini ditempatkan dalam bangunan palinggih. Puluhan tahun yang lalu sebelum dibuatkan palinggih, prasasti ini ditimbun dalam tanah dalam jangka waktu lama. Selain itu, ketika prasasti ini dikeluarkan dari pelinggih pada upacara keagamaan, masyarakat juga mengolesinya dengan minyak sebelum ditaruh kembali di dalam guci berisi air dan dikembalikan ke dalam pelinggih saat upacara selesai. 
Guci berisi air tempat prasasti disimpan


Prasasti Jikĕn Satra memakai aksara dan bahasa Jawa Kuna. Tatahan aksara pada lempeng prasasti ini kurang dalam dan terkesan kurang rapi. Kondisi prasasti seperti itu diduga karena merupakan prasasti tinulad atau tiruan yang dibuat tidak pada masanya.

Prasasti Jiken Satra

Angka tahun yang tercantum dalam prasasti adalah 1246 Saka atau tahun 1324 Masehi. Dilihat dari angka tahunnya 1246 Saka atau 1324 Masehi, dikeluarkan bersamaan dengan prasasti Srokadan tahun 1246 Saka tentang Bhatara ring Candrimanik oleh Raja Paduka Bhatara Guru beserta cucunya Paduka Aji Sri Tarunajaya. Memperhatikan angka tahun dan nama Raja yang tercantum dalam prasasti, Jiken Satra diduga dikeluarkan pada masa Raja Paduka Bhatara Guru atau setidaknya pada masa pemerintahannya ditulis kembali atau dibuat tiruan prasasti yang pernah diamanatkan oleh Raja Jayasakti. Berdasarkan beberapa prasasti diketahui Jayasakti memerintah di Bali sekitar tahun 1055-1072 Saka atau 1133-1150 Masehi, maka diperkirakan Prasasti Satra ditulis 174-191 tahun setelah Raja Jayasakti. Prasasti Jikĕn Satra berisi tentang ketetapan Raja Jayasakti yang menetapkan Jikӗn Satra sebagai daerah perdikan (jataka). Desa Jikӗn Satra dibebaskan dari beberapa jenis iuran, tetapi bertanggung jawab terhadap pemeliharaan suatu bangunan suci keagamaan (jataka punpunan mundut dyun i sira bhatara ri kusumadanta).
Selain itu, prasasti ini menetapkan pula batas-batas Desa Jikӗn Satra (parimandala), tentang berbagai bangunan suci, pembagian hak waris bagi janda atau duda, peraturan terkait hutang-piutang, serta izin menebang kayu larangan. Lebih lanjut, Prasasti Jikӗn Satra menyebutkan kutukan-kutukan (sapatha) yang akan menimpa siapa saja yang melanggar ketetapan-ketetapan yang telah diatur di dalam prasasti.