Penelitian ini
memprioritaskan pada kajian keterkaitan tinggalan arkeologi dengan tata
kelola air yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan Kecamatan Petang terutama
di dua desa di hulu yaitu Desa Pelaga dan Belok Sidan. Kawasan Petang merupakan
kawasan penyanggga Hutan Gunung Mangu sebagai kawasan resapan yang cukup besar
dan sampai sekarang vegetasi hutannya masih terpelihara sejalan dengan
kepercayaan masyarakat masa lalu yang
masih mentradisi memproteksi kawasan tersebut. Sejumlah bukti aspek budaya masih banyak ditemukan seperti yang berkaitan
dengan aktivitas pemujaan. Kearifan lokal dalam kaitan dengan
pengelolaan sumber daya air secara bersama melalui sistem subak dan sistem sekehe (kelompok tradisional). Kesemuanya itu merupakan sumber daya arkeologi yang perlu
dikelola dengan baik (Cultural Resource
Management).
Bentangan lahan yang ada di kawasan Petang merupakan
bagian dari ekosistem yang lebih luas dari hubungan manusia dalam siklus
kehidupan, pemanfaatan lahan serta upaya
menjaga alam yang berkelanjutan. Kenyataan ini merupakan pengalaman masyarakat
sejak dulu. Mengamati perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya alam (bentangan
lahan) khususnya pengelolaan sumberdaya air diperlukan berbagai pendekatan.
Penelitian ini cenderung melandasi
kajian ini dengan menggunakan model komponen Sistem Sosiokultural yang terdiri
dari Super struktur ideologi, bagaimana wujud idea masyarakat dengan
pengetahuan sederhana yang dimiliki mampu memanfaatkan alam lingkungan yang
berkelanjutan (sustainable) menjaga
regulasi hidrologi, pengelolaan
lingkungan binaan, pelestarian vegetasi
dan budaya yang dilakukan sejak dulu
(Sanderson, 2000).
Berdasarkan keterangan dari beberapa
sumber prasasti, tanaman yang diatur pola penebangannya antara lain kemiri,
bodi, beringin, pohon asam, jeruk, mundu, nangka, enau, mengkudu, pucang, sekar
kuning, kapulaga, kamukus, dan lumbang. Upaya
ini dilakukan Raja untuk melindungi plasma nutfah. Demikian juga dengan sistem
subak sebagai bagian dalam pengelolaan daur hidrologi yang sudah dikenal
masyarakat Bali Kuno menerapkan keseragaman dalam pelaksanaan pola tanam,
pengaturan pola irigasi yang merupakan bukti pengelolaan lingkungan sosial masyarakat
yang adaptif.
Objek yang
diteliti lebih ditekankan pada
pengelolaan hidrologi di bentangan alam Petang meliputi sejumlah tinggalan
arkeologi yang ada di kawasan ini, pura (tempat suci) yang disucikan masyarakat
dalam kaitan dengan kegiatan pengelolaan sumber-sumber air, kearifan peradaban
seperti sistem subak dan perangkat kegiatan yang masih mentradisi, serta mengamati kearifan peradaban dalam
pengelolaan lingkungan.
Di dua lokasi
penelitian ini morfologinya berupa perbukitan yaitu Puncak Mangu dan Bon.
Litologi yang menjadi ciri daerah ini adalah berupa lapisan batuapung,
menempati puncak-puncak perbukitan dan lembahnya. Vegetasi berupa hutan lindung
dan hutan rakyat dengan berbagai jenis tumbuhan, sehingga daerah ini menjadi
pilihan hunian bagi masyarakat. Dari hasil survei di dua lokasi ini berhasil
ditemukan beberapa tinggalan budaya masa lalu yang merupakan wujud dari
adaptasi manusia terhadap alam dan lingkungannya.
Tinggalan
arkeologi yang tersebar di beberapa pura di wilayah Desa Pelaga dan Belok Sidan
didominasi oleh tinggalan dari masa Klasik berupa lingga, yoni ataupun
lingga-yoni. Temuan dari masa klasik lainnya adalah Arca Perwujudan dan arca
binatang.
Selain itu ada pula tinggalan dari masa prasejarah berupa onggokan
batu-batu alam yang juga dipergunakan sebagai media pemujaan hingga sekarang,
meja batu (dolmen) dan juga menhir (batu tegak).
Deretan Lingga di Pura Taman, Pura
Taman Puseh Lawak
|
Lingga yoni di Pura Puseh Lawak
|
Arca Perwujudan di Pura Puseh Kahyangan Tiga Desa Pakraman Bon |
Onggokan batu-batu alam di Pura Bukit Penikit
|
Dolmen dan Menhir di Pura Desa Bale Agung Belok Sidan |
Gunung dalam
siklus hidrologi adalah daerah tangkapan air, dalam hal ini gunung yang
dimaksud adalah Puncak Bon. Di puncak gunung ini terdapat Pura Antap Sai Pucak
Bon yang sangat dikeramatkan oleh seluruh masyarakat khususnya penyungsung pura. Masyarakat sekitar
tidak berani merusak lingkungan termasuk menebang pohon di sekitar bukit
tersebut. Gunung dalam keyakinan masyarakat Hindu, dianggap sebagai lingga-nya dunia (lingga buana). Lingga buana merupakan refleksi dari Tuhan (Siwa)
secara nyata bagi masyakarat. Secara filosofis pura dan bangunan suci disebut
juga kahyangan, yang merupakan replika atau tiruan stana sejati Tuhan Yang Maha
Esa dengan berbagai manifestasi-Nya.
Perilaku di
atas dilakukan karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumber air dan
sumber daya alam lainnya untuk keberlangsungan hidup mereka. Adapun usaha-usaha
yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam antara lain dengan dibuatnya
terasiring atau pangkedan (nyabuk gunung)
untuk memperlambat laju air permukaan sehingga daya serapnya lebih besar.
Selain itu pembuatan pangkedan juga mengurangi resiko erosi atau tanah longsor.
Namun juga dalam kondisi atau lingkungan yang berbeda, perlakuan mereka terhadap
sumber air akan disesuaikan misalnya dengan pembuatan bulakan pada lahan yang sangat miring dan pembuatan kolam pada
lahan yang datar.
Perilaku tersebut
akan menimbulkan dampak positif terhadap munculnya sumber-sumber air di sekitar
daerah penelitian. Hal ini dibuktikan dengan tetap munculnya sumber air di
daerah yang lebih rendah, salah satunya di Beji Sudamala. Di tempat ini
terdapat dua sumber mata air resapan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kegiatan sakral dan profan. Pemanfaatan air oleh masyarakat tidak bisa
dilepaskan dari upaya masyarakat untuk memuliakan keberadaan air itu sendiri.
Hal ini terlihat dari posisi pancuran secara vertikal dimana pancuran dengan
posisi yang lebih tinggi dimanfaatkan untuk kegiatan sakral keagamaan, kemudian
di pancuran yang posisinya lebih rendah dimanfaatkan untuk kegiatan profan
seperti mandi dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kemudian
pancuran selanjutnya dimanfaatkan untuk mengairi ladang dan sawah.Di bagian
hulu atau di permukaan tanah yang lebih tinggi dibangun sebuah pelinggih
sebagai media pemuliaan air sebagai sumber kehidupan. Hal ini adalah sebuah
kearifan religius yang fokus pada keyakinan tentang Ketuhanan dan
spiritualitas. Melalui teks teologis, sistem simbol dan aktivitas ritual, bukan
saja ranah Parhyangan, tetapi juga ranah palemahan dan pawongan terkait dengan
konsep suci dan leteh. Termasuk tanah, sumber daya air dan perilaku masyarakat.
Kesucian dianggap pangkal harmoni dan keletehan
(kotor) adalah signal disharmoni. Kesucian menguatkan jagadhita dan keletehan
mengganggu jagadhita (Windia dan Wiguna, 2013: 73).
Salah satu
bentuk nyata kaitan tinggalan arkeologi dengan pemuliaan air itu sendiri diwujudkan
dalam sebuah bentuk petirtaan di Beji Pura Penataran Agung Bukian. Dalam hal
ini mata air yang muncul dari akifer dan rembesan mengalir ke dalam sebuah
fitur kolam dari batu padas/tufa yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah lingga.
Kolam dan sembilan pancurannya melambangkan yoni dan air yang keluar dari
pancuran tersebut melambangkan amerta/
kehidupan.
Mata air dan Petirthaan
Taman Beji Penataran Agung Bukian
|
Salam kenal dan salam berbagi Gan. mau menyebarkan informasi Rental Mobil Murah di Kuta bali Seandainya ada teman atau saudara yang datang dari luar kota ke bali dan butuh kendaraan bisa menguhubungi kami di pin BB : 2A3A61A8
BalasHapusAssalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Sri Rahayu asal Surakarta, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil di daerah surakarta, dan disini daerah tempat mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat Jl. Letjen Sutoyo No. 12 Jakarta Timur karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-1144-2258 atas nama Drs Muh Tauhid SH.MSI beliaulah yang selama ini membantu perjalanan karir saya menjadi PEGAWAI NEGERI SIPIL, alhamdulillah berkat bantuan bapak Drs Muh Tauhid SH.MSI SK saya dan 2 teman saya tahun ini sudah keluar, bagi anda yang ingin seperti saya silahkan hubungi bapak Drs Muh Tauhid SH.MSI, siapa tau beliau bisa membantu anda
BalasHapus