Penelitian prasasti merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan Balai Arkeologi Denpasar yang memiliki tiga tujuan, yaitu
penelitian murni, pengabdian masyarakat, dan pemasyarakatan
arkeologi. Pada 28-30 November 2014, Balai Arkeologi Denpasar melakukan
penelitian Prasasti Jikĕn Satra yang terletak di Desa Satra, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli. Penelitian prasasti
diketuai oleh I Gusti Made Suarbhawa dengan anggota tim
sebanyak empat orang, yaitu I Nyoman Sunarya, A.A. Gde Bagus, Luh Suwita Utami,
dan Hedwi Prihatmoko.
Prasasti Jikĕn Satra
saat ini disimpan di Pura
Bale Agung Desa Satra yang secara astronomis terletak pada koordinat 08010’35,4”
LS dan 115016’31,4” BT dengan ketinggian 1.116 mdpl. Bagi masyarakat Desa Satra, prasasti ini memiliki makna yang mendalam dan menjadi salah
satu pusaka yang disakralkan. Prasasti ini selalu diikutsertakan dalam upacara-upacara keagamaan di pura umum di wilayah
Desa Satra. Fungsi sakral tampak juga dari penyimpanannya di dalam pelinggih khusus. Penyimpanan di pelinggih juga untuk menjaga keamanan
prasasti agar bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
Gedong tempat penyimpanan prasasti |
Prasasti
oleh masyarakat sangat dikeramatkan. Oleh karena itu sebelum melakukan
penelitian, pada saat melakukan penelitian dan pada saat berakhirnya penelitian
dilakukan upacara keagamaan sesuai dengan kebiasaan dan aturan setempat.
Prosesi upacara sebelum pembacaan prasasti |
Prasasti Jikĕn Satra terdiri dari sembilan lempeng, yaitu
dua lempeng besar dengan ukuran rata-rata panjang 42 cm dan lebar 8,5 cm, serta tujuh lempeng kecil dengan ukuran rata-rata panjang 36 cm dan lebar 6,5 cm. Kedua prasasti lempeng besar bernomor I dan II, sedangkan prasasti lempeng kecil hanya tiga buah yang bernomor, yaitu nomor III, IV, dan V. Prasasti yang berukuran besar ditulisi
sebanyak enam baris pada kedua sisi, kecuali lempeng I yang hanya ditulisi pada
sisi b dan prasasti yang berukuran kecil ditulisi sebanyak empat baris pada
kedua sisinya.
Secara umum, kondisi kesembilan prasasti kurang baik
karena beberapa aksaranya tertutup oleh karat dan patina. Patina dan karat yang
menutupi beberapa bagian lempeng prasasti diduga disebabkan oleh cara
penyimpanannya yang ditaruh di dalam guci berisi air, guci ini
ditempatkan dalam bangunan palinggih. Puluhan tahun yang lalu sebelum dibuatkan
palinggih, prasasti ini ditimbun dalam
tanah dalam jangka waktu lama. Selain itu, ketika prasasti ini dikeluarkan dari
pelinggih pada upacara keagamaan, masyarakat juga mengolesinya dengan minyak
sebelum ditaruh kembali di dalam guci berisi air dan dikembalikan ke dalam
pelinggih saat upacara selesai.
Guci berisi air tempat prasasti disimpan |
Prasasti Jikĕn Satra memakai aksara dan bahasa Jawa Kuna.
Tatahan aksara pada lempeng prasasti ini kurang dalam
dan terkesan kurang rapi. Kondisi prasasti seperti itu diduga karena merupakan
prasasti tinulad atau tiruan yang dibuat tidak pada masanya.
Prasasti Jiken Satra |
Angka
tahun yang tercantum dalam prasasti adalah 1246 Saka
atau tahun 1324 Masehi. Dilihat dari angka tahunnya 1246 Saka
atau 1324 Masehi, dikeluarkan bersamaan dengan prasasti Srokadan tahun 1246
Saka tentang Bhatara ring Candrimanik oleh Raja Paduka Bhatara Guru beserta
cucunya Paduka Aji Sri Tarunajaya. Memperhatikan angka tahun dan nama Raja yang
tercantum dalam prasasti, Jiken Satra diduga dikeluarkan pada masa Raja Paduka
Bhatara Guru atau setidaknya pada masa pemerintahannya ditulis kembali atau dibuat
tiruan prasasti yang pernah diamanatkan oleh Raja Jayasakti. Berdasarkan
beberapa prasasti diketahui Jayasakti memerintah di Bali sekitar tahun
1055-1072 Saka atau 1133-1150 Masehi, maka diperkirakan Prasasti Satra ditulis
174-191 tahun setelah Raja Jayasakti. Prasasti Jikĕn Satra berisi tentang
ketetapan Raja Jayasakti yang menetapkan Jikӗn Satra sebagai daerah
perdikan (jataka). Desa Jikӗn Satra dibebaskan dari beberapa jenis
iuran, tetapi bertanggung jawab terhadap pemeliharaan suatu bangunan suci keagamaan
(jataka punpunan mundut dyun i sira bhatara ri kusumadanta).
Selain
itu, prasasti ini menetapkan pula batas-batas Desa Jikӗn Satra (parimandala),
tentang berbagai bangunan suci, pembagian hak waris bagi janda atau duda,
peraturan terkait hutang-piutang, serta izin menebang kayu larangan.
Lebih lanjut, Prasasti Jikӗn Satra menyebutkan kutukan-kutukan (sapatha)
yang akan menimpa siapa saja yang melanggar ketetapan-ketetapan yang telah
diatur di dalam prasasti.