BAGAIMANA MEMBUAT LONTAR ?


     Istilah lontar asal mulanya adalah ron-tal, yaitu daun pohon tal. Kini yang dimaksud dengan lontar adalah daun yang sudah berisi tulisan berbagai masalah atau cerita, merupakan catatan.
      Ketika manusia Bali belum mengenal tulisan, maka pelajaran susastra dan pendidikan lainnya disampaikan secara lisan, namun ketika sudah mengenal tulisan (aksara) Bali dicipta, direkalah kasusastraan tersebut dalam ruangnya ental (tal) atau rontal, daun siwalan, berupa lembaran, roncean dan cakepan (jilidan) disebut pustaka.
Lontar ada yang ditulis dalam lempiran(pepesan), dalam bentuk takepan, ada yang diletakkan dalam kotak (keropak). Tidak sedikit pula yang ditulis pada rontal katihan ( daun tal yang masih ada lidinya) disebut embat-embatan.
Dalam bahasa Jawa Kuna lontar disebut tal, dalam kosa kata bahasa Bali disebut dengan ental, dan dalam bahasa Indonesia disebut lontar. Di Bali dewasa ini pohon lontar banyak ditemukan di daerah Jembrana, Singaraja, Karangasem dan sekitarnya. Lontar ini ada tiga jenis yaitu ; ntal taluh, ntal goak, dan ntal kedis.
Ntal taluh memiliki ciri-ciri seratnya halus, daunnya cukup panjang dan lebar, tidak terlalu keras ditulisi/ ditoreh dengan pengutik. Ntal goak memiliki serat agak  kasar, daunnya lebar dan panjang, agak keras dan kenyal jika ditoreh untuk ditulisi. Ental kedis juga memiliki serat halus, tetapi daunnya agak pendek dan kurang lebar dan juga jika ditoreh tidak terlalu keras. Dari jenis-jenis yang dijumpai itu, untuk bahan tulis dipilih jenis ntal taluh. Daun yang dipetik adalah daun yang sudah maikuh sesapi berwarna kekuningan pada ujungnya, siap untuk dipetik
Pada saat menulis lontar diperlukan kemampuan memusatkan perhatian, tidak terpengaruh oleh situasi lingkungan. Pengetahuan tentang bahan yang akan ditulisi (pepesan), apakah baik atau tidak, juga tajam atau tidaknya pengrupak ( pisau tulis) serta bagaimana mengasahnya. Penguasaan terhadap bahasa yang akan disalin, sehingga tidak banyak terjadi kesalahan.
Menulis lontar biasanya dilakukan di atas meja atau dulang, yang tingginya diatur bila duduk di depannya, tepi meja atau dulang seukuran tinggi susu. Duduk tegak lurus menghadap ke depan. Tangan kiri memegang lempiran (pepesan) yang dirangkap 4 sampai dengan 8 lembar, bercokol pada alas tangan di atas meja atau dulang.Tangan kanan memegang pengrupak, sedangkan ibu jari kiri menempel pada pengrupak, ikut bergerak, sehingga akan tampak menulis dengan kedua belah tangan. Media (lempiran/pepesan) digeser dengan jari tangan kiri perlahan-lahan menurut kepentingan. Alat tulis atau pengrupak tidak pindah-pindah. Naskah yang akan ditulisi ditaruh di depan, dengan jarak gampang dan jelas dibaca.
Ketika anda menulis dalam lontar anda harus mempergunakan alas menulis semacam bantalan kecil, agar tangan anda tidak sakit, karena ketika anda menulis akan terjadi tekanan  dan  gesekan dengan tempat menulis, selain itu menulis lontar berbeda dengan menulis di atas kertas yang beralaskan meja,  jika menulis aksara Bali di atas kertas memerlukan alas yang keras dan datar, karena kertas langsung menempel pada alas tempat  menulis, semakin datar alasnya semakin bagus. Namun ketika kita menulis lontar, lontar tidak menempel langsung pada alas namun lontar kita pegang dengan tangan  kiri lalu ditulisi. Jadi  yang bersentuhan langsung dengan alas adalah tangan sang menulis. Sehingga jika tidak diberi alas maka tangan yang bersentuhan langsung dengan alas tersebut akan terasa sakit dan akan mengganggu penulis dalam menyelesaikan tulisannya. Selain itu hal yang perlu diperhatikan ketika menulis lontar alas yang dipakai berupa kasur atau bantal kecil yang lembut sehingga tangan terasa nyaman.
Setelah selesai ditulisi, agar mudah dibaca, maka goresan-goresan itu dihitamkan. Bahan-bahan  yang dipakai adalah buah kemiri, sebab banyak mengandung minyak. Hitamnya pekat, tidak mudah luntur, minyaknya meresap pada goresan lontar serta tidak menimbulkan cendawan. Caranya ; Biji kemiri yang telah dikuliti dibakar, setelah cukup matang apinya dipadamkan. Biji yang sudah matang dibakar  itu digosok-gosokkan pada lontar, tanpa dicampur dengan minyak atau cairan-cairan lain. Minyak kemiri itu keluar dengan sendirinya, merasuk pada goresan-goresan itu, lalu diurut dengan ibu jari tangan. Kemudian dilap beberapa kali hingga bersih. Yang terakhir dibersihkan lagi dengan lap basah  (air campuran asam/cairan lerak) agar benar-benar bersih sampai dengan garis-garis lontar itu. Sebelum disimpan, hendaknya dijemur beberapa kali kurang lebih satu jam, hingga bersih benar
Menulis lontar adalah menulis dalam rasa dan perasaan, senantiasa diperlukan kesabaran dan  kestabilan batin dan nafas yang terkontrol menyatu dengan tangan. Saat menulis tangan bagai menari, sebab pergelangan tangan yang gemulai berputar mengikuti gerak nafas dan keinginan untuk menulis huruf demi huruf.

(Rema) 
Narasumber: Ida I Dewa Gede Catra







MOKO DI KABUPATEN ALOR, NUSA TENGGARA TIMUR

Moko merupakan sebuah benda pusaka yang dimiliki hampir setiap keluarga asli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Moko adalah hasil budaya prasejarah di Indonesia, yang merupakan suatu tipe lokal dari nekara perunggu di Indonesia. Moko atau “mako” adalah nekara berukuran kecil (Bintarti dalam Gede, 1995). Bentuk moko juga mendekati bentuk tifa, alat musik khas dari Indonesia bagian timur khususnya Maluku dan Papua. Bagian atas yang disebut bidang pukul berbentuk bundar. Semakin ke bawah (bagian tengah atau pinggang) mengecil, kemudian melebar kembali di bagian bawah. Moko memiliki ketinggian rata-rata sekitar 46-60 cm dan diameter 32 cm. Moko memiliki berbagai macam pola hias. Bintarti (dalam Gede, 1995: 73-75) telah membagi pola hias moko menjadi empat yaitu
1.      pola prasejarah,
2.      pola hias candi (Indonesia Hindu),
3.      pola barat (Belanda-Inggris) dan
4.      pola lain (pola baru).
Pola hias prasejarah misalnya berupa pola bintang bersudut delapan, pola hias geometrik, dan kedok muka. Pola sulur, untaian bunga dan daun, kepala kala, wayang, burung garuda dan geometrik merupakan ciri pola hias candi (Indonesia Hindu). Pola hias Barat (Belanda-Inggris) berupa pola gigir keliling, untaian daun anggur dan bunga anggur, muka orang yang digambarkan berkumis, berjenggot, dan hidung mancung. Kemudian ada pula pola dua ekor singa yang berdiri sambil memegang bendera Belanda. Pola yang tergolong pola baru antara lain gambar manusia dan binatang seperti naga, singa, kuda, kerbau, buaya, kijang, ayam dan sebagainya.
Moko mempunyai nama yang berbeda-beda seperti Moko Itikara, Moko Makassaar, Moko Jawa, Moko Habartur, Moko Pung dan sebagainya. Di tiap daerah di Alor moko memiliki nilai yang belum tentu sama. Misalnya di Pantar moko yang bernilai paling tinggi adalah Moko Pung atau Moko Lima Anak Panah sedangkan di tempat lainnya moko Makassar memiliki nilai tertinggi. Hal ini sudah mereka warisi dari generasi sebelumnya. Biasanya moko yang dimiliki keturunan raja akan bernilai lebih tinggi. Gede (1995: 76-78) menjabarkan fungsi moko yaitu sebagai
1.      sarana upacara,
2.      lambang status sosial,
3.      belis (sebutan untuk mas kawin di wilayah Indonesia timur),
4.      alat music,
5.      sebagai benda yang bernilai ekonomis,
6.      moko adalah sebagai lambang perdamaian dari pihak-pihak yang bertikai.

Saat ini penduduk Alor masih menggunakan moko salah satunya sebagai belis. Kendati agama-agama besar seperti Katolik, Kristen dan Islam sudah banyak dianut oleh penduduk, tradisi penyerahan mas kawin berupa moko masih tetap dilakukan. Seiring peningkatan kebutuhan hidup , saat ini ada beberapa pihak yang mengganti belis moko dengan uang tunai. Namun ada juga yang masih tetap mempertahankan moko. 

(Eka Julia)





CANDI PENATIH


Tim Balai Arkeologi Denpasar telah mengadakan 2 kali penelitian di Situs Penatih yang berlokasi di Jl. Trengguli gang IVD Denpasar. Berdasarkan pengamatan terhadap keseluruhan struktur batu padas yang sudah tergali, dapat diketahui bahwa dasar candi dimulai dengan penempatan batu kali dan pasir dan kemudian dipasangkan batu padas secara tegak lurus yang berfungsi sebagai lapik (pitha) candi, di atas lapik candi ini dipasangkan profil bingkai sisi genta ganda (Pidha cala) dan di atasnya terlihat adanya bingkai mistar. Struktur bangunan mempergunakan teknik gosok untuk merekatkan bahan yang satu dengan yang lainnya. Untuk memperkuat struktur agar tidak mengalami pergeseran dibuatkan system kunci yang berupa cekungan sedalam 0,5 – 1 cm pada permukaan 2 batu di bawahnya untuk ditutup oleh sebuah batu di atasnya. Pada sisi barat struktur bangunan memiliki tanah yang sangat keras dan padat, ujung batu padas tidak rata, sehingga dapat diduga merupakan bagian tengah dari sebuah bangunan yang berdenah segi empat.

Dalam penelitian tahap ke-2 yang baru saja berakhir pada 30 April yang lalu, berhasil menemukan struktur batu padas yang diduga kuat sebagai struktur tangga masuk dari sisi timur (foto kiri). Struktur tangga ini terlihat sudah banyak yang terganggu, terutama sekali bagian yang sebelah utara batuannya sudah tidak ada lagi, sehingga belum dapat diketahui lebar tangga yang utara-selatan, sedangkan yang menjorok keluar dari lapik candi sekitar 20 cm. Struktur tangga ini dibuat dengan susunan batu padas yang ukurannya lebih kecil dan dalam bentuk yang pipih dengan ukuran yang beragam. Hal ini mungkin disesuaikan dengan kebutuhan dalam pembuatan undak-undaknya, serta mungkin pula dikarenakan struktur tangga masuk ini memiliki ruang kosong di atasnya, sehingga tidak menerima beban yang berat dari konstruksi yang ada di atasnya.

Perlu diketahui bahwa bagian atas dari batu padas yang dijadikan tangga dihaluskan sedalam 20 cm, sedangkan bagian bawahnya masih kasar tanpa pengerjaan. Dari keadaan ini dapat diduga bahwa permukaan halaman candi pada masa lampau sekitar 20 cm dari permukaan tangga tersebut, sehingga ada perbedaan sekitar 150 cm dengan permukaan tanah sekarang. Artinya wilayah sekitar candi penatih sudah mengalami pengendapan setinggi 150 cm.

Dari tangga masuk ini terlihat struktur sepanjang hampir 21 meter ke arah selatan, jika tangga ini posisinya di tengah-tengah maka seharusnya masih ada lagi struktur sepanjang hampir 21 meter ke arah utara. Dengan demikian dapat dibayangkan berapa besar bangunan candi ini pada masa lampau.

Selain melakukan ekskavasi, dalam penelitian kali ini, tim Balai Arkeologi Denpasar juga melakukan survey. Survey dilakukan di beberapa pura dan di daerah aliran Sungai Bugbug dimana di sekitar sungai tersebut terdapat sumber batu padas yang pernah dieksploitasi sebelumnya. Survey juga dilakukan di Pura Penataran Agung dimana terdapat komponen-komponen bangunan yang berupa menara sudut dan kemuncak bangunan (foto kiri) yang ditemukan di pura ini juga mengindikasikan bahwa dahulunya diloksi ini pernah ada bangunan candi yang dibuat dengan material batu padas.

Tinggalan-tinggalan arkeologi yang sangat menarik juga ditemukan di Pura Dangka ini yaitu beberapa buah lingga-yoni, arca Dewa Ganesa, Arca Dewi Durgha, Kepala Kala, Arca Nandi serta beberapa komponen bangunan.

Hasil penelitian terhadap beberapa candi di Jawa telah berhasil diketahui bahwa di dalam sebuah bangunan candi biasanya arca-arca dewa memiliki kedudukannya yang permanen, disesuaikan dengan fungsinya sebagai penjaga penjuru mata angin untuk menjaga keselamatan dunia. Dalam Pantheon agama Hindu, Dewa utama/tertinggi adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, sehingga dewa-dewa utama biasanya menduduki ruang utama (main chamber) dari pada sebuah candi.

Namun untuk candi-candi Hindu di Indonesia, telah ditemukan penempatan arca-arca di dalam sebuah candi dengan komposisi terbanyak adalah Durga-Ganesa-Agastya sebagai dewa pendamping dengan ruang utamanya ditempati oleh Dewa Siwa atau perlambang Dewa Siwa lainnya. Komposisi Durga-Ganesa-Agastya ini dapat kita lihat pada Candi Gedong Sanga III, Candi Gedong Sanga Bubrah, Candi Selagriya, Candi Umbul, Candi Sambisari, Candi Roro Jongrang dan Candi Singasari (Edi Sedyawati, 1994).

Formula inilah yang menyebabkan adanya dugaan apabila dahulu di lokasi pura Dangka ini ada bangunan candi, maka ruang utamanya ditempati oleh Dewa Siwa dalam wujud simbul Lingga-Yoni dan arca Dewa Ganesa serta Dewi Durgha berfungsi sebagai dewa pendamping yang ditempatkan sebagai penjaga mata angin. Yang dikuatkan juga dengan adanya Kepala Kala yang biasanya menempati ambang atas pintu masuk candi, sedangkan Arca Nandi pada umumnya ditempatkan pada tangga candi.

    Arca Dewi durgha di Pura Dangka
    







Lingga- Yoni di Pura Dangka

Arca Ganesha Bertangan Delapan Belas
di Desa Bunutin, Kintamani


Arca Ganesha bertangan 18 seperti yang terlihat pada foto di kiri (atas) ini, berdiri di atas lapik padma ganda dengan stela yang dihiasi dengan sinar kedewataan di sekitar kepala (prabawali), menggunakan jata makuta yang dilengkapi hiasan arda chandra kapala. Beberapa atribut yang masih dapat diidentifikasi antara lain: gada, tengkorak (kepala), vajra, denta, danus, pasa, ketaka, parasu.
Selain itu, juga terdapat arca Siva bertangan empat (Catur Bhuja) (foto kiri bawah) yang juga menggunakan jata makuta dilengkapi dengan arda Chandra kapala dan payung berbentuk Padma. Arca Siva ini juga dilengkapi dengan praba mandala (lidah api) sebanyak 28 buah yang melingkari sekitar tubuh arca. Atribut Arca Siva yakni aksamala dan kamandalu. Dua tangan ke depan dengan sikap yoga mudra. Dengan memperhatikan ciri-cirinya, arca ini merupakan arca Siva Mahadewa sebagai Siva Yoga Daksina Murti. Pada bagian samping arca Siva dan ganesha terdapat hiasan Bunga Padma yang langsung tumbuh dari tanah (tanpa pot) seperti lazimnya arca-arca Singhasari.
Melihat langgam arca dengan atribut dan hiasannya, arca ini berasal dari zaman Bali Kuna khususnya abad ke 13. Pengaruh seni arca Singhasari diduga berkaitan erat dengan adanya ekspedisi kerajaan Singhasari ke Bali pada akhir abad ke 13, ketika Raja Kertanegara berkuasa.
Bukti lain pengaruh Singhasari di Bali antara lain ditemukannya prasasti yang diterbitkan oleh Pemerintahan Singhasari yang keberadaannya di Bali direpresentasikan oleh Raja Patih Kebo Parud yang menerbitkan prasasti Sukawana G, pada tahun 1222 Saka (1300 Masehi).
Temuan arca Ganesha ini merupakan yang pertama dan satu-satunya di Bali. Arca Siva dengan ciri-ciri tersebut di atas juga merupakan yang petama dan satu-satunya di Bali. Kedua arca ini kini tersimpan di Pura Pingit  Melamba di Desa Bunutin, Kintamani, Bangli, Bali. Arca ini telah didata oleh tim Balai Arkeologi Denpasar pada tanggal 13 Mei 2013.