MOKO DI KABUPATEN ALOR, NUSA TENGGARA TIMUR

Moko merupakan sebuah benda pusaka yang dimiliki hampir setiap keluarga asli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Moko adalah hasil budaya prasejarah di Indonesia, yang merupakan suatu tipe lokal dari nekara perunggu di Indonesia. Moko atau “mako” adalah nekara berukuran kecil (Bintarti dalam Gede, 1995). Bentuk moko juga mendekati bentuk tifa, alat musik khas dari Indonesia bagian timur khususnya Maluku dan Papua. Bagian atas yang disebut bidang pukul berbentuk bundar. Semakin ke bawah (bagian tengah atau pinggang) mengecil, kemudian melebar kembali di bagian bawah. Moko memiliki ketinggian rata-rata sekitar 46-60 cm dan diameter 32 cm. Moko memiliki berbagai macam pola hias. Bintarti (dalam Gede, 1995: 73-75) telah membagi pola hias moko menjadi empat yaitu
1.      pola prasejarah,
2.      pola hias candi (Indonesia Hindu),
3.      pola barat (Belanda-Inggris) dan
4.      pola lain (pola baru).
Pola hias prasejarah misalnya berupa pola bintang bersudut delapan, pola hias geometrik, dan kedok muka. Pola sulur, untaian bunga dan daun, kepala kala, wayang, burung garuda dan geometrik merupakan ciri pola hias candi (Indonesia Hindu). Pola hias Barat (Belanda-Inggris) berupa pola gigir keliling, untaian daun anggur dan bunga anggur, muka orang yang digambarkan berkumis, berjenggot, dan hidung mancung. Kemudian ada pula pola dua ekor singa yang berdiri sambil memegang bendera Belanda. Pola yang tergolong pola baru antara lain gambar manusia dan binatang seperti naga, singa, kuda, kerbau, buaya, kijang, ayam dan sebagainya.
Moko mempunyai nama yang berbeda-beda seperti Moko Itikara, Moko Makassaar, Moko Jawa, Moko Habartur, Moko Pung dan sebagainya. Di tiap daerah di Alor moko memiliki nilai yang belum tentu sama. Misalnya di Pantar moko yang bernilai paling tinggi adalah Moko Pung atau Moko Lima Anak Panah sedangkan di tempat lainnya moko Makassar memiliki nilai tertinggi. Hal ini sudah mereka warisi dari generasi sebelumnya. Biasanya moko yang dimiliki keturunan raja akan bernilai lebih tinggi. Gede (1995: 76-78) menjabarkan fungsi moko yaitu sebagai
1.      sarana upacara,
2.      lambang status sosial,
3.      belis (sebutan untuk mas kawin di wilayah Indonesia timur),
4.      alat music,
5.      sebagai benda yang bernilai ekonomis,
6.      moko adalah sebagai lambang perdamaian dari pihak-pihak yang bertikai.

Saat ini penduduk Alor masih menggunakan moko salah satunya sebagai belis. Kendati agama-agama besar seperti Katolik, Kristen dan Islam sudah banyak dianut oleh penduduk, tradisi penyerahan mas kawin berupa moko masih tetap dilakukan. Seiring peningkatan kebutuhan hidup , saat ini ada beberapa pihak yang mengganti belis moko dengan uang tunai. Namun ada juga yang masih tetap mempertahankan moko. 

(Eka Julia)